Let me to read one of My Favorite Notes... cekidot jeh...
*Everlasting atau Keabadian
Saat kita sedang sendiri, kesepian, dalam masalah, membutuhkan teman,
lantas teringat dengan seseorang, berharap banyak dia akan membantu,
atau setidaknya mengusir sedikit gundah-gulana. Apakah itu disebut
cinta? Tentu saja. Tetapi kalau demikian, bukankah cinta jadi tidak
lebih dari seperangkat obat? Alat medis penyembuh? Selesai malasahnya,
saat kita kembali semangat, sembuh, maka
persis seperti botol-botol obat, seseorang itu bisa segera
disingkirkan. Sementara, dong? Temporer? Juga tentu saja, kecuali kita
selalu sakit berkepanjangan, dan mulai mengalami ketergantungan dengan
seseorang tersebut. Jika demikian maka cinta jadi mirip nikotin, candu.
Saat kita ingin selalu bersamanya, selalu ingin didekatnya, selalu
ingin melihat wajahnya, senyumnya, nyengirnya, bahkan gerakan tangan,
gesture, bla-bl-bla. Ingin mendengar suaranya (meski suaranya fals),
tawanya (walau tawanya cempreng); apakah itu disebut cinta? Tentu saja.
Bagaimana mungkin bukan cinta? Tetapi kalau hanya demikian, maka bawakan
saja imitasi seseorang itu ke rumah, taruh seperti koleksi patung, jika
ingin mendengar tawanya, stel sedemikian rupa biar dia tertawa, ingin
melihat dia bicara, stel agar dia bicara. Bukankah hari ini sudah banyak
teknologi imitasi seperti ini? Apakah itu akan berlangsung sementara?
Boleh jadi, karena persis seperti kolektor yang memiliki koleksi benda
antik, seberapapun berharganya, cepat atau lambat rasa bosan akan tiba.
Bisa sih disiasati dengan jarang-jarang melihat koleksi tersebut,
jarang-jarang bertemu biar terus kangen dan rindu, aduh, kalau demikian,
maka cinta jadi sesuatu yang kontradiktif, bukankah tadi dibilang ingin
selalu bersamanya.
Saat kita terpesona melihatnya, kagum
menatapnya, begitu hebat, keren, terlihat berbeda, cantik, gagah, dan
bla-bla-bla. Apakah itu disebut cinta? Bisa jadi. Tapi jika demikian
cinta tak lebih seperti pengidolaan, keterpesonaan. Jika demikian,
solusinya mudah, pasang saja posternya besar-besar di kamar. Jika
kangen, tatap sambil tersenyum. Taruh foto-fotonya di mana-mana. Selesai
urusannya. Apakah ini sementara? Temporer? Tentu saja. Saat idola baru
yang lebih keren tiba, saat sosok baru yang lebih hebat datang, maka
idola lama akan tersingkirkan. Jika demikian, maka cinta tak ubahnya
seperti lagu pop, cepat datang cepat pergi. Persis seperti anggota
boyband di tahun 80-an, basi di tahun 90-an, dan anggota boyband di
tahun 2012, dijamin basi banget di tahun 2030.
Saat kita
tergila-gila, selalu ingat dengannya, tidak bisa tidur, tidak bisa
makan, berpikir jangan-jangan kita kehilangan akal sehat, apakah itu
disebut cinta? Tentu saja. Tapi jika demikian cinta, maka ia tak lebih
dari simptom penyakit psikis? Sama persis seperti penjahat yang jadi
buronan, juga tidak bisa tidur, susah makan, dan terkadang berpikir
kenapa ia bisa kehilangan akal sehat menjadi penjahat. Sementara?
Temporer? Tentu saja. Waktu selalu bisa mengubur seluruh kesedihan.
Hampir kebanyakan orang akan bilang: “Saya tidak pernah tahu kapan
perasaan itu datang. Tiba-tiba sudah hadirlah ia di hati.” Ada sih yg
jelas-jelas mengaku kalau dia cinta pada pandangan pertama; sekali
lihat, langsung berdentum hatinya. Tapi di luar itu, meskipun
benar-benar pada pandangan pertama, kita kebanyakan tidak tahu kapan
detik, menit, jam, atau harinya kapan semua mulai bersemi. Semua
tiba-tiba sudah terasa something happen in my heart.
Terlepas
dari tidak tahunya kita kapan perasaan itu muncul, kabar baiknya kita
semua hampir bisa menjelaskan muasal kenapanya. Ada yg jatuh cinta
karena seseorang itu perhatian, seseorang itu cantik, seseorang itu
dewasa, rasa kagum, membutuhkan, senang bersamanya, nyambung, senasib,
dan seterusnya, dan seterusnya. Dan di antara definisi kenapa tersebut,
ada yang segera tahu persis kalau itu sungguh cinta, ada juga yang
berkutat begitu lama memilah-milah, mencoba mencari penjelasan yg akan
membuatnya nyaman dan yakin, ada juga yang dalam situasi terus-menerus
justeru tdk tahu atau tidak menyadarinya kalau semua itu cinta.
Cinta sungguh memiliki begitu banyak pintu untuk datang. Kebanyakan
dari “mata”, mungkin 90%. Sisanya dari “telinga”. Dari bacaan (membaca
sesuatu darinya), dari kebersamaan, dari cerita orang lain. Dari mana
saja. Lantas otak akan mengolahnya, mendefinisikannya menjadi: sayang,
kagum, terpesona, dekat, cantik, ganteng, cerdas, baik, lucu, dan
seterusnya. Kemudian hati akan menjadi pabrik terakhir yang menentukan:
“ya” atau “tidak”. Selesai? Tidak juga, masih ada ruang buat
prinsip-prinsip, pemahaman hidup, pengalaman (diri sendiri atau belajar
dari pengalaman orang lain) untuk menilai apakah akan menerima
kesimpulan hati atau tidak.
Ini proses cinta kebanyakan. Tetapi
orang-orang yang paham, maka pintu datangnya cinta bukan sekadar dari
mata atau tampilan fisik saja. Proses mereka terbalik, mulai dari
memiliki prinsip-prinsip, pemahaman-pemahaman yang baik, lantas hati dan
otak akan mengolahnya, baru terakhir mata, telinga dan panca indera
menjadi simbolisasi cinta tersebut.
Tetapi apapun pintu dan
prosesnya, jika akhirnya semua fase itu terlewati masih ada satu hal
penting lainnya yg menghadang. Yaitu kesementaraan. Temporer. Apakah
cinta itu perasaan yang bersifat temporer? Kabar buruknya ya. Jangan
berdebat soal ini. Sehebat apapun cinta kita, pasti takluk oleh waktu.
Tapi kabar baiknya, meski ia bersifat sementara, kita selalu memiliki
kesempatan untuk membuatnya ‘abadi’, everlasting. Bagaimana caranya?
Dengan pemahaman-pemahaman yang baik. Ada rambu-rambu agama yang harus
dipatuhi, ada nilai-nilai yang harus dihormati. Tidak bisa semuanya
diterabas. Ambisius memiliki. Pasangan yang memiliki hal tersebut, mereka bisa menjadikan
perasaan cinta utuh semuanya. Maka abadilah perasaan itu.
Terakhir, saat kita selalu termotivasi untuk terus berbuat baik hari
demi hari, memberikan semangat positif, terus memperbaiki diri setiap
kali mengingatnya, apakah itu juga disebut cinta? Iya, inilah hakikat
cinta. Saat perasaan itu menjadi energi kebaikan. Dan itu tidak berarti
kita harus selalu menyampaikan kalimat itu. Orang-orang yang menyimpan
perasaannya, menjaga kehormatan hatinya, dan menjadikan perasaan
tersebut sebagai energi memperbaiki diri, maka cinta menjelma menjadi
banyak kebaikan.
Apakah itu sementara? Memang sementara, nah,
semangat untuk terus memperbaiki diri karena cinta tersebut akan menjadi
jaminan keabadiannya. Percayalah, bagi orang-orang yang memiliki
pemahaman yang baik, cinta selalu datang di saat yang tepat, momen yang
tepat, dan orang yang tepat, semoga semua orang memiliki kesempatan
merasakannya.
*Darwis Tere Liye
salam kenal, dan salam blogger di tunggu kumbalnya
ReplyDeleteok... tengkyu mas bro... :)
ReplyDelete