selamat datang

layar


Tuesday 17 September 2013

Menyejarahnya Ibu



Menyejarahnya Ibu

Sebelum membaca dengan serius perkenankan aku untuk menyeru “Aku Bangga Menjadi Wanita”
Entah kelak, aku akan menjadi seorang Ibu atau tidak. Ketetapan memanglah sudah tertulis rahasia pada Allah Subhanahu Wata’ala…
Laki-laki dan perempuan berbakti kepada ibunya. Bahkan setelah menikahpun, laki-laki akan terus berbakti kepada ibunya. Lain halnya dengan seorang wanita. Setelah menikah kebaktiannya berpindah kepada Sang Suami.  Sungguh Allah maha adil : Nah lho, nanti siapa yang berbakti kepada Ayah??  Siapa yang berbakti kepada Istri?? BUKA MATA DAN HATI 

Seorang Istri adalah calon IBU sedangkan seorang ayah merangkap peran juga sebagai SUAMI. Sudah jelas kan?.
Jadi : setelah kita menikah nanti.. Jangan sekali-kali cemburu kepada Suami yang masih manja kepada ibunya, masih sering mengunjungi ibunya…. Bahkan seharusnya dianjurkan sang istri mengingatkan juga mempereratkan hubungan sang suami kepada ibunya. Tapi sebaliknya, jika kita sebagai istri harus berbakti kepada suami. Apapun inginnya, hasratnya segera penuhi. Karena disitulah letak kebaktian kita. Begitulah Agama mengajarkan.


Rene Van de Carr berujar “Pertama kali kau menyapaku. Tanpa suara. Tetapi sangat asih. Dari diriku yang paling dalam. Disini ibu. Aku di sisni.”
            Menjadi ibu. Bagi jiwa perempuan penuh kasih adalah mimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta dan asahan rasa. Ia mencahayai dalam jiwa. Keringat ayah dan air mata ibu, tak terganti walau oleh darah kita. Niscayalah melirih do’a sesering kita bisa.
            Seruak cita itu adalah fitrah terindah yang dikaruniakan Allah. Kecenderungan rasa, kemuliaan! Ibu! Mulia dengan tapak kaki juangnya. Sebab tak seorang pria pun termuliakan begitu tinggi hingga syurga berada di telapak kaki. Demi Allah tak seorang lelaki jua. Hanya ibu.
            Ibu. Panggilan yang begitu menggetarkan, membiriharu, menggemakan rasa terdalam di lubuk rasa setiap wanita. Ia menggeletarkan cinta. Ada imaji surgawi dan gairah hayat menggelora tiap kali tiga huruf itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang sambut kehadiran.
            Ibu. Madarasah cantik nan agung, tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ibu. Dia dermaga yang paling tenang untuk melabuh hati saat mereka merasa gelisah. Ibu. Dia dekapan paling menentramkan saat mereka gelisah. Ibu. Dia dekapan paling kukuh untuk merebah, bertahan dari amuk badai kesedihan.
            Ibu. Dia perpustakaan terlengkap, kelas ternyaman, gelanggang terlapang. Ia tak bisa digantikan gedung-gedung megah tanpa nyawa. Yang kata orang disitu letaknya ilmu. Ibu. Panggilan yang meneguhkan keutamaan; diulangkan, didahulukan. Sang Rasul sebut ibumu tiga kali di depan, ayahmu menyusul kemudian. Ibu. Panggilan perjuangan. Cantik nian senyumnya walau pegal bawa kandungan, susah memilih baringan, bengkak kaki, dan mual tak tertahan.
            Ibu. Napas cintamu meniup kuncupku, maka ia mekar jadi bunga. Rahim adalah nama Allah; Yang Maha Penyayang. Hanya satu makhluk yang mengandung nama itu dalam tubunya yaitu IBU.
            Ibu. Namun miris massa sekarang. Ada wanita yang kini enggan menjadi kata itu. Maka kemuliaan pun enggan menyapa, seirama anggapan bahwa anak adalah belenggu. Ibu. Ketika kata itu dianggap neraka atau penjara, mereka tertuntun memasuki jerat kesendirian yang menuakan, menghampakan, mematikan. Ibu. Ketika kata itu diabaikan, ia enggan menyediakan dermaga tempat para wanita menambat perahu hati; berlabuh dari galau kehidupan. Na’dzubillah…
            Menjadi ibu, melahirkan atau tidak; setelah ikhtiar paling gigih, do’a paling tulus, dan tawakal paling pasrah adalah kemuliaan utuh. Menjdi ibu hakiki, Agar Bidadari Cemburu Padamu, terpahamlah kita; kau takkan tersaingi oleh jelita surgawi itu selama-lamanya.

Sekali lagi : “Aku bangga jadi seorang wanita…… entah akan menjadi Ibu Rumah Tangga atau berwanita karir. Aku akan terus belajar dan belajar. Entah dengan bangku kuliah atau belajar seadanya. Karena aku adalah guru bagi anak-anakku kelak. Dengan bahasa yang mengakrabkan”

No comments:

Post a Comment