Menyejarahnya Ibu
Sebelum membaca dengan serius
perkenankan aku untuk menyeru “Aku Bangga Menjadi Wanita”
Entah kelak, aku akan menjadi seorang
Ibu atau tidak. Ketetapan memanglah sudah tertulis rahasia pada Allah Subhanahu
Wata’ala…
Laki-laki dan perempuan berbakti
kepada ibunya. Bahkan setelah menikahpun, laki-laki akan terus berbakti kepada
ibunya. Lain halnya dengan seorang wanita. Setelah menikah kebaktiannya
berpindah kepada Sang Suami. Sungguh
Allah maha adil : Nah lho, nanti siapa yang berbakti kepada Ayah?? Siapa yang berbakti kepada Istri?? BUKA MATA
DAN HATI
Seorang Istri adalah calon IBU
sedangkan seorang ayah merangkap peran juga sebagai SUAMI. Sudah jelas kan?.
Jadi : setelah kita menikah nanti..
Jangan sekali-kali cemburu kepada Suami yang masih manja kepada ibunya, masih
sering mengunjungi ibunya…. Bahkan seharusnya dianjurkan sang istri
mengingatkan juga mempereratkan hubungan sang suami kepada ibunya. Tapi
sebaliknya, jika kita sebagai istri harus berbakti kepada suami. Apapun
inginnya, hasratnya segera penuhi. Karena disitulah letak kebaktian kita.
Begitulah Agama mengajarkan.
Rene Van de Carr berujar “Pertama
kali kau menyapaku. Tanpa suara. Tetapi sangat asih. Dari diriku yang paling
dalam. Disini ibu. Aku di sisni.”
Menjadi
ibu. Bagi jiwa perempuan penuh kasih adalah mimpi yang dilatih dengan
kerinduan, cinta dan asahan rasa. Ia mencahayai dalam jiwa. Keringat ayah dan
air mata ibu, tak terganti walau oleh darah kita. Niscayalah melirih do’a
sesering kita bisa.
Seruak
cita itu adalah fitrah terindah yang dikaruniakan Allah. Kecenderungan rasa,
kemuliaan! Ibu! Mulia dengan tapak kaki juangnya. Sebab tak seorang pria pun
termuliakan begitu tinggi hingga syurga berada di telapak kaki. Demi Allah tak
seorang lelaki jua. Hanya ibu.
Ibu.
Panggilan yang begitu menggetarkan, membiriharu, menggemakan rasa terdalam di
lubuk rasa setiap wanita. Ia menggeletarkan cinta. Ada imaji surgawi dan gairah
hayat menggelora tiap kali tiga huruf itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil
yang sambut kehadiran.
Ibu.
Madarasah cantik nan agung, tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan
bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam.
Ibu. Dia dermaga yang paling tenang untuk melabuh hati saat mereka merasa
gelisah. Ibu. Dia dekapan paling menentramkan saat mereka gelisah. Ibu. Dia
dekapan paling kukuh untuk merebah, bertahan dari amuk badai kesedihan.
Ibu.
Dia perpustakaan terlengkap, kelas ternyaman, gelanggang terlapang. Ia tak bisa
digantikan gedung-gedung megah tanpa nyawa. Yang kata orang disitu letaknya
ilmu. Ibu. Panggilan yang meneguhkan keutamaan; diulangkan, didahulukan. Sang
Rasul sebut ibumu tiga kali di depan, ayahmu menyusul kemudian. Ibu. Panggilan
perjuangan. Cantik nian senyumnya walau pegal bawa kandungan, susah memilih
baringan, bengkak kaki, dan mual tak tertahan.
Ibu.
Napas cintamu meniup kuncupku, maka ia mekar jadi bunga. Rahim adalah nama
Allah; Yang Maha Penyayang. Hanya satu makhluk yang mengandung nama itu dalam
tubunya yaitu IBU.
Ibu.
Namun miris massa sekarang. Ada wanita yang kini enggan menjadi kata itu. Maka
kemuliaan pun enggan menyapa, seirama anggapan bahwa anak adalah belenggu. Ibu.
Ketika kata itu dianggap neraka atau penjara, mereka tertuntun memasuki jerat
kesendirian yang menuakan, menghampakan, mematikan. Ibu. Ketika kata itu
diabaikan, ia enggan menyediakan dermaga tempat para wanita menambat perahu
hati; berlabuh dari galau kehidupan. Na’dzubillah…
Menjadi
ibu, melahirkan atau tidak; setelah ikhtiar paling gigih, do’a paling tulus,
dan tawakal paling pasrah adalah kemuliaan utuh. Menjdi ibu hakiki, Agar
Bidadari Cemburu Padamu, terpahamlah kita; kau takkan tersaingi oleh jelita
surgawi itu selama-lamanya.
Sekali lagi : “Aku bangga jadi
seorang wanita…… entah akan menjadi Ibu Rumah Tangga atau berwanita karir. Aku
akan terus belajar dan belajar. Entah dengan bangku kuliah atau belajar
seadanya. Karena aku adalah guru bagi anak-anakku kelak. Dengan bahasa yang
mengakrabkan”
No comments:
Post a Comment