selamat datang

layar


Friday 23 August 2013

PUISI UTERUS



Kedung Darma Romansha, Laki-laki kelahiran Indramayu, 25 Februari 1984. Karya-karyanya dimuat dibeberapa media massa, antara lain : Solo Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Seputar Indonesia, Lampung Pos, Bataviase Nouvelle, Majalah Khoirul Ummah, dan Jurnal Kreativa.
Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta ini juga sering kali memenangkan beberapa lomba di dunia sastra.
Subhanallah, saya sebagai orang Indramayu asli ikut bangga dengan karya-karnyanya.
Dan salah satu karya dia yang sangat aku kagumi ialah Puisi berjudul “UTERUS”.
Gak usah lama-lama, mari kita baca!



Untuk Cinta Ibu yang Tak Pernah Putus
Bermula dari kerinduan, kemudian berangkat menuju kenang-kenangan. Inilah yang membuat saya tergerak untuk menulis puisi berjudul UTERUS. Ibu adalah tempat semua peristiwa dilahirkan. Lewat rahimnya kita menjadi manusia dengan latar belakang dan suku berbeda.
Saya ingat sekali dengan bau bumbu ditangannya. Mungkin itu salah satu yang mengirimkan saya pada UTERUS. Jika saya boleh mengumpamakan, “Surga ada di telapak tangan ibu”. Tapi terlepas dari istilah saya. Kerinduan itu memunculkan kenang-kenangan masa kecil saya. Kerinduan itu memunculkan aroma masakkannya. Kerinduan itu memunculkan kegigihannya yang jujur.
Di dalam kerinduan ini, tiba-tiba saya teringat TKI yang nasibnya dipertaruhkan di negeri orang. Banyak berita buruk tentang TKI yang saya lihat di layar televisi yang itu semua mengingatkan saya akan ibu. Sejujurnya dulu, kira-kira ketika usia saya empat tahun-tepatnya saya lupa-ibu saya sempat menjadi TKI meski nasibnya tak seperti yang dialami TKI yang kerap diberitakan akhir-akhir ini.
Saya mengibaratkan ‘perempuan yang menggadaikan mimpinya di pulau-pulau tanpa peta/tanpa jaminan’. Tapi saya tak mau larut dengan kenangan dan berita buruk itu.
Cinta ibu tak akan pernah putus. Dia hidup di ruh kita, di ruh saya. Kesetian tidak bisa dipatok dengan kematian. Karena cinta seorang ibu akan terus hidup, karena sebenarnya kita tak akan pernah mengalami ‘kematian’.
Kematian yang sering kita bicarakan adalah kematian tubuh yang sudah tak mampu lagi untuk melanjutkan segala aktivitasnya di bumi. Cinta sejati akan terus hidup sampai di alam barzah-itu juga kalau kita masih percaya dengan alam barzah.
Ibuku, yang memiliki kasih sayang yang rahasia. Senyum dan kemarahanmu sudah lebih dari kasih sayang yang kuterima. Kalau tak perlu ucapkan ulang tahun jika aku ulang tahun, karena itu bukan tradisi keluarga kami dan memang kita tak pernah memilikinya dari dulu. Cukup kau ucapkan salam dan doa dalam sujudmu. Cukup kau buatkan sambel terasi. Itu semua sudah lebih dari cukup.
Untuk ayahku, percayalah segala jerih payahmu tak akan pernah sia-sia. Percayalah doa-doa itu telah terkabulkan hanya saja menunggu waktunya yang tepat.  Untuk ibu yang keterakhir kalinya, aku ingin makan dengan telur ceplok setengah matang, sayur asem, pete, dan sambel terasi di hutan tempat ayah berladang. Salam. *Kedung Darma Romansha
 






U T E R U S
(Puisi Kedung Darma Romansha)
Untuk mengingatmu

Barangkali tak perlu kubaca gugur daun di halaman

Melihat usia meranggas dari helai-helai rambutmu

Juga angka kalender kamarku

Yang jatuh di telapak tanganmu.



Aku teringat saat malam sujud dalam gerimis

Pada setiap air mata perempuan

Yang menggadaikan mimpinya

Di pulau-pulau tanpa peta

Tanpa impian

Untuk kembali menganak-pinakkan

Mimpi yang akan ditebusnya dengan doa dan airmata.



Tapi sudahlah,

Barangkali aku tak akan mengingat itu.



Sudah lama kubingkai tahun-tahun

Dalam fotomu

Kurasakan bau bumbu di tanganmu

Adalah aroma surga yang pernah kukenal.

Aku ingin kau garuki punggungku yang gatal

Dan berpura-pura tidur di sampingmu

Aku juga ingin memperlihatkan

Gambar hariamau terbaruku

Lalu katamu :

“Kamu mau menjadi harimau?”

Aku hanya tersenyum dan tak tahu

Waktu itu,

Alangkah jujurnya senyummu

Tapi malam ini kau garuki kesepianku

Dan kugambar wajahmu di sebidang kanvas puisi

Lalu waktu merampasnya

Di usiaku yang dewasa



Bu, usia memang bukan patokan

Untuk menggadaikan kesetiaan

Sebab kematian adalah kehidupan yang lain

Seperti katamu, segala yang dilahirkan

Pasti akan mengalami kematian

Dan setiap kematian

Akan mengalami kelahiran lain.



Di sini,

Ketika hari patah dalam nafasmu

Segala peristiwa diciptakan

Dari rahimmu yang suci.

Lalu kita diberangkatkan

Oleh kesakitan yang sama

Bersama tangis dan darah



Mimih.... Lia Sayang banget sama mimih *BigHUG  :-*

No comments:

Post a Comment